ungkin aneh jika mendengar kata "pengemis". mereka hidup tak seperti kita, mereka hidup dengan mminta - minta uang ke orang lain. awalnya para masyarakat dermawan akan memberi uang dengan ikhlas ke para pengemis tersebut karena memang kasihan, mereka hidup dengan pakaian compang camping, wajah kusam tidak terawat dsb. keadaan mereka sangat memprihatinkan, :( .Tetapi lambat laun para dermawan akan mundur dan tak akan lagi memberi 1 sen pun. Mengapa demikian?? ada apa dengan dermawan??
kita ulas sama- sama...
pengemis adalah orang yang meminta- minta uang atau jabatan atau semacamnya kepada orang yang mempunyai apa yang dia inginkan.
- Ada faktor - faktor yang mendorong seseorang untuk mengemis
- faktor ketidak berdayaan, kefakiran dan kemiskinan yang dialami
- faktor kesulitan ekonomi yang telah dilanda
- faktor musibah yang menimpa suatu keluarga
- faktor - faktor yang datang belakangan tanpa disangka- sangka sebelumnya seperti tagihan hutang dadakan
ada 3 jenis pengemis yang dapat didefinisikan sebagai pengemis, antara lain:
1. pengemis jalanan
pengemis ini banyak dijumpai pada setiap jalanan yang ada di wilayah- wilayah masyarakat. biasanya memakai baju compang camping dan meminta uang pada pengendara sepeda motor atau mobil.
2. pengemis rumahan
untuk pengemis rumahan biasanya mereka berjalan dengan baju compang camping dan sasarannya adalah rumah - rumah penduduk, dari rumah satu ke rumah yang lain.
3. pengemis menetap
untuk pengemis menetap, mereka mengemis di tempat- tempat yang banyak orang melewatinya seperti depan masjid atau di depan Anjungan Tunai Mandiri atau ATM. kalau pengemis depan masjid biasanya meletakkan wadah uang di depannya dia duduk, dan kalau pengemis depan ATM biasanya memberi amplop ke orang- orang pengambil uang ATM.
terus, apakah mereka asli dari orang yang tidak mempunyai uang dan sanak saudara ?? mengapa mereka mengemis?? paksaan?? apa memang miskin??
ada pengemis yang asli dan ada yang pengemis gadungan.
-pengemis asli adalah para pengemis dengan latar belakang miskin dan tidak punya sanak saudara karena berbagai alasan.
-pengemis gadungan adalah para pengemis yang dengan sengaja mengemis untuk mendapatkan penghasilan dari mengemis tersebut tetapi aslinya orang itu masih mampu dan mempunyai rumah.
nahh,, sekarang yang kita bahas adalah
1. apa hukum mengemis atau meminta - minta dalam islam?
2. apa hukum islam tentang pengemis gadungan?
1. pandangan syariat terhadap meminta- minta / mengemis
islam tidak mensyari'atkan meminta- minta dengan berbohong dan menipu. Alasannya bukan hanya jkarena melanggar dosa , tetapi juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang- orang miskin yang mrmang membutuhkan bantuan . bahkan hal itu merusak citra orang - orang miskin yang tidak mau minta - minta dan orang - orang yang mencintai kebajikan. karena mereka dimasukkan dalam golongan orang - orang yang meminta bantuan. padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.
banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta- minta dengan menipu dan tanpa adanya keutuhan yang mendesak. di antara hadits- hadits tersebut ialah sebagai berikut:
Hadits Pertama.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
"Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan
datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di
wajahnya".[1]
Hadits Kedua
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
"Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api" [2].
Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ
يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
"Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya
dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas
suatu hal atau perkara yang sangat perlu" [3]
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran.
Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin.
Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena
penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya.
Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan
hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau
memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ
نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا
يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa
mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya.
Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka
Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang
meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia
tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas
(yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".
Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu
dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu
hingga aku meninggal dunia”.
Ketika Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm
Radhiyallahu 'anhu untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima.
Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ‘Umar menjadi khalifah,
ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga tidak mau
menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata
di hadapan para sahabat: "Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada
kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang
telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun
ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu 'anhu tidak mau
menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam sampai ia meninggal dunia”.[4]
Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan
tetapi tidak boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm. Hadits ini
juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada
manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada
waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.
ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu
'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ
ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ
الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ :
سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ
، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali
bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang
orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian
berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya,
ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3)
seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang
berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan
hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram,
dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[5]
KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita
untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal
dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan
meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri
dari minta-minta), sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam
firman-Nya.
"(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang
(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha
di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah
orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau
(Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara
paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan,
sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2 ayat 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى
ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat
kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga
dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya
daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau
tidak memberinya".[6]
Seseorang yang menjual kayu bakar yang ia ambil dari hutan adalah lebih
baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain. Nabi n
menjelaskan jalan yang terbaik karena meminta kepada orang lain hukumnya
haram dalam Islam, baik mereka (orang yang dimintai sumbangan) itu
memberikan atau pun tidak. Tetapi yang terjadi pada sebagian kaum
muslimin dan thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada
orang lain, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar.
Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yang terbaik ialah
kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yang
kita dapat, baik sedikit maupun banyak, dan sesuatu yang kita dapat itu
lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.
Seorang anak yang minta kepada kedua orang tuanya, atau orang tua kepada
anaknya, atau isteri kepada suaminya, ini tidak termasuk dalam hadits
ini. Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Jadi,
kalau anak meminta kepada orang tuanya, tidak termasuk dalam hadits ini,
begitu pun sebaliknya. Karena pada hakikatnya harta anak itu milik
orang tuanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ ِلِأَبِيْكَ.
"Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu".[7]
Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka
tidak meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat
membutuhkan. Tetapi, orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa
mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan diri
mereka dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.
Orang yang paling berbahagia dan yang paling beruntung dalam hidup ini
adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Contohnya,
orang yang hanya mendapat rizki Rp 5000,- (Lima ribu rupiah) sehari,
kemudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yang paling
beruntung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan apa yang Allah
berikan kepadanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup,
dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".[8]
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ
، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا
بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
"Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada
manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang
mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya
salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan
yang cepat".[9]
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan
kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya
tidak akan tertutupi. Kita dapat saksikan betapa banyaknya kaum
Muslimin yang tertimpa musibah dan kesulitan mereka adukan semuanya
kepada orang lain, baik dengan mengatakan bahwa ia sedang sakit atau
sedang bangkrut usahanya atau selainnya. Tetapi, apabila mereka sedang
mendapatkan senang dan mendapat keuntungan, mereka tidak mengadukannya
kepada orang lain. Seseorang yang mengadukan kefakiran dan kesulitannya
agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu tetap tidak akan
menutup kefakirannya. Namun jika ia merasa cukup dengan karunia yang
Allah Ta’ala berikan, dan ia mengadukan segala kesulitannya kepada
Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu dan akan menambah karunia
yang telah diberikan-Nya kepadanya. Apabila Allah Ta’ala mentakdirkan
kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan yang kita alami
kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar yang
baik dan rizki, baik cepat maupun lambat.
Kita harus mengimani, memahami, dan mengamalkan hadits ini dalam
kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yang mendengar
kesulitan kita. Adapun manusia, mereka tidak suka mendengar kesulitan
orang lain. Islam menganjurkan kita untuk berusaha, berdasarkan
ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan usaha ini tidak mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu
maupun mengajar dan mendakwahkan ilmu. Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2981/slash/0